Rabu, 08 Desember 2010

Hiburan Bagi Yang Mendapatkan Musibah

HIBURAN BAGI YANG MENDAPATKAN MUSIBAH

بسم الله الرحمن الرحيم

Berikut adalah beberapa nasehat dari ayat al Qur’an, hadits dan perkataan ulama yang semoga bisa menghibur setiap orang yang sedang mengalami musibah.
Musibah Terasa Ringan dengan Mengingat Penderitaan yang Dialami Orang Sholih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِيَعْزِ المسْلِمِيْنَ فِي مَصَائِبِهِمْ المصِيْبَةُ بي
Musibah yang menimpaku sungguh akan menghibur kaum muslimin.[1]
Dalam lafazh yang lain disebutkan.
مَنْ عَظَمَتْ مُصِيْبَتُهُ فَلْيَذْكُرْ مُصِيْبَتِي، فَإِنَّهَا سَتَهَوَّنُ عَلَيْهِ مُصِيْبَتُهُ
Siapa saja yang terasa berat ketika menghapi musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku. Ia akan merasa ringan menghadapi musibah tersebut.[2] Ternyata, musibah orang yang lebih sholih dari kita memang lebih berat dari yang kita alami. Sudah seharusnya kita tidak terus larut dalam kesedihan.
Semakin Kuat Iman, Memang Akan Semakin Terus Diuji
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.[3]
Di Balik Musibah, Pasti Ada Jalan Keluar
Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)
Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Kata al ‘usr (kesulitan) menggunakan alif-lam dan menunjukkan umum (istigroq) yaitu segala macam kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun sulitnya, akhir dari setiap kesulitan adalah kemudahan.”[4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً
Bersama kesulitan, ada kemudahan.[5]
Merealisasikan Iman adalah dengan Bersabar
‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,
الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.
Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak memiliki kesabaran.[6]
Musibah Awalnya Saja Terasa Sulit, Namun Jika Bersabar akan Semakin Mudah
Hudzaifah ibnul Yaman mengatakan,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَخْلُقْ شَيْئاً قَطٌّ إِلاَّ صَغِيْراً ثُمَّ يَكْبَرُ، إِلاَّ المصِيْبَة فَإِنَّهُ خَلَقَهَا كَبِيْرَةً ثُمَّ تَصْغُرُ.
Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan sesuatu melainkan dari yang kecil hingga yang besar kecuali musibah. Adapun musibah, Allah menciptakannya dari keadaan besar kemudian akan menjadi kecil.[7] Allah menciptakan segala sesuatu, misalkan dalam penciptaan manusia melalui tahapan dari kecil hingga beranjak dewasa (besar) semacam dalam firman Allah,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا
Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua.” (QS. Ghofir: 67)
Namun untuk musibah tidaklah demikian. Musibah datang dalam keadaan besar, yakni terasa berat. Akan tetapi, lambat laut akan menjadi ringan jika seseorang mau bersabar.
Bersabarlah Di Awal  Musibah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى
Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.[8] Itulah sabar yang sebenarnya. Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal musibah.
Pahala Orang yang Mau Bersabar Tanpa Batas
Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa  ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi ia akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.[9]
Akan Mendapatkan Ganti yang Lebih Baik
Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[10]
Do’a yang disebutkan dalam hadits ini semestinya diucapkan oleh seorang muslim ketika ia ditimpa musibah dan sudah seharusnya ia pahami. Insya Allah, dengan ini ia akan mendapatkan ganti yang lebih baik.
Semoga yang mendapati musibah semakin ringan menghadapinya dengan sedikit hiburan ini. Semoga kita selalu dianugerahi kesabaran dari Allah Ta’ala.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan pada malam 11 Muharram 1431 H di Panggang-Gunung Kidul (kediaman mertua tercinta)

[1] Shahih Al Jami’, 5459, dari Al Qosim bin Muhammad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Disebutkan dalam Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 249, Mawqi’ Al Waroq.
[3] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[4] Taisir Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 929, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H
[5] HR. Ahmad no. 2804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, hal. 250.
[7] Idem.
[8] HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik.
[9] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/89, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[10] HR. Muslim no. 918.

RENUNGAN UNTUK “PAK HAJI & BU HAJI


RENUNGAN UNTUK “PAK HAJI & BU HAJI
Rabu, 24 Nopember 10

Suatu fenomena telah terjadi di kalangan jamaah haji khususnya dari negara kita, ketika telah selesai bertahalul maka ada sedikit perubahan dalam panggilan nama mereka yakni penambahan gelar Haji di depannya dan Hajjah bagi para wanita. Demikian pula setelah kepulangan mereka ke tanah air gelar kehormatan tersebut masih terus melekat dengan namanya, sehingga rasanya tidak afdhal jika kita memanggilnya tanpa mendahului dengan gelar itu.

Hal ini dikarenakan mulianya perjalanan ibadah tersebut yang merupakan paripurnanya rukun Islam yang lima, di samping memang membutuhkan pengorbanan yang besar baik tenaga, biaya maupun waktu sehingga tidak semua orang Islam mampu menunaikannya. Panggilan itu boleh jadi adalah sebagai penghormatan karena telah sukses melakukan acara ritual yang agung, atau mungkin juga bermula dari panggilan yang biasa digunakan oleh penduduk asli Arab ketika memanggil jamaah haji dengan “Ya Hajj” karena memang tidak tahu siapa namanya.


Bagi mereka yang memiliki latar belakang ilmu syar’i insya Allah gelar atau panggilan haji tersebut bukanlah masalah besar yang harus dipersoalkan. Artinya dia tidak akan peduli apakah orang lain nantinya akan memanggilnya dengan pak haji, bu haji atau tetap sebagaimana panggilan semula sebelum ia menjalankan ibadah haji, toh tujuan dan niatnya adalah semata-mata beribadah menuju keridhaan Allah. Dan memang demikianlah hendaknya setiap jamaah haji berniat dalam perjalanan hajinya, sebab jika niatnya lain, misalnya agar disebut sebagai bapak atau ibu haji maka ia tidak akan memperoleh apa-apa kecuali gelar dan panggilan tersebut, sedang di sisi Allah ia tak memperoleh bagian apa-apa. Hal ini dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang dilakukan secara ikhlash semata-mata karenaNya di samping dilakukan menurut tuntunan yang disyari’atkan Allah dan diajarkan oleh NabiNya
shallallahu 'alaihi wasallam. Firman Allah Subhanahu Wata'ala, artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, khusus berkenaan dengan haji beliau
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik (cara-cara) kalian dalam berhaji.” (HR. Muslim)

Namun jika kita berbicara soal realita, maka teori di atas tidak sepenuhnya terpraktekkan, sebab tidak semua orang faham dan mengetahui apa tujuan haji yang sebenarnya. Bahkan orang yang sudah tahupun terkadang masih terkalahkan oleh hawa nafsunya sehingga ketika ada orang lain menyebut namanya tanpa menambahkan gelar haji di depannya, maka dadanya agak terasa sempit dan telinga sedikit merah karena kurang suka, lebih-lebih jika itu di depan khalayak ramai. Bahkan di antara mereka ada yang ketika dipanggil namanya tidak menjawab sebagaimana mestinya tapi malah berujar, “Saya sudah dua kali pergi haji lho!” Yakni menghendaki agar orang lain memanggilnya dengan gelar haji.


Dalam kasus ini perlu digaris bawahi bahwa kita bukannya bermaksud melarang orang menghormati orang lain dengan memberi gelar haji. Yang perlu diluruskan adalah bahwa perjalanan haji adalah perjalanan ibadah untuk menuju Allah
Subhanahu Wata'ala dan mengharap keridhaanNya, bukan untuk mendapatkan embel-embel tersebut. Adapun setelah itu ada orang yang memanggil dengan bapak atau ibu haji, maka itu adalah persoalan lain dan bukan tujuan, hanya saja jika kebiasaan tersebut tidak dibudayakan bisa jadi itu akan memperbaiki niat orang yang akan melakukan rukun Islam kelima ini.
Makna haji yang sebenarnya

Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rahman Al Bukhari Al Hanafi menjelaskan bahwa haji (al hajj) maknanya adalah bermaksud atau menuju (al qashdu). Niat dan maksud adalah pekerjaan yang paling utama sebab ia hanya dilakukan oleh anggota badan termulia yaitu hati. Karena ibadah haji ini merupakan ibadah yang besar dan sangat utama, juga memuat ketaatan yang sangat berat, maka disebutlah ia al hajj yang berarti al-Qashdu (dinisbatkan kepada amalan hati karena keutamaannya, red). Dan mengenai pentingnya niat dalam haji dan umrah Allah
Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya,“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah.” (QS. al-Baqarah: 196).

Oleh karena itu seseorang yang akan pergi haji meskipun pergi menuju baitullah (ka’bah) namun sebenarnya yang jadi tujuan adalah Rabbul Ka’bah Allah Rabb seru sekalian alam. Maka ketika seorang haji tiba di Ka’bah, dan sebelumnya ia tahu bahwa pemilik rumah tersebut tidak ada di sana, berputar-putarlah ia mengelilingi rumah itu yakni thawaf, dan ini merupakan isyarat bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan namun Allah
Subhanahu Wata'ala pemilik Ka’bahlah tujuannya.

Begitu pula ketika mencium hajar aswad bukanlah bertujuan untuk menyembah batu, tapi semata-mata karena mengikuti sunnah Rasul. Dan inilah yang membedakan antara seorang muslim dan musyrik. Dulu kaum musyrikin menciumnya karena benar-benar menyembahnya, sedang seorang muslim melakukan itu adalah karena mengikuti sunnah.


Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu mengibaratkan bahwa mencium hajar aswad seolah-olah ia menjabat atau mencium tangan kanan Allah, sehingga ketika seorang haji menyentuhnya hendaknya tertanam dalam benak bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah Subhanahu Wata'ala, pencipta dan pemilik hajar aswad yang telah memerintahkan untuk melakukan itu. Berbai’at disini maknanya berjanji untuk selalu taat dan tunduk kepada Allah Subhanahu Wata'ala, kemudian selalu ingat bahwa jika mengkhianati bai’at tersebut akan berhadapan dengan murkaNya.

Dari sini para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat, memperbaiki ketakwaan dan inilah sebaik-baik bekal. Allah
Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqarah: 197). Dan tak mungkin seseorang akan membawa bekal takwa ini jika tidak bertaubat dan meninggalkan segala jenis kemaksiatan.

Jika orang yang berhaji telah memahami apa makna dan tujuannya dalam berhaji, maka ketika melantunkan talbiyah akan meresap dalam jiwa bahwa seolah-olah ia sedang meninggalkan segala atribut keduniaan dan menuju Allah seraya mengatakan, “Ya Allah aku datang, aku datang memenuhi panggilanMu, aku berdiri di pintuMu, aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. MilikMu segala ciptaan, bagimu segala aturan dan perundang-undangan, bagiMu seluruh hukum dan hukuman, tiada sekutu bagiMu. Tak peduli aku berpisah dengan sanak keluarga, ku tinggalkan profesi dan pekerjaan, kulepas segala atribut dan jabatan karena tujuanku hanyalah wajah dan keridhaanMu, bukan dunia yang fana bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu. “

Setelah Para Haji Pulang

Banyak oleh-oleh yang dibawa pulang oleh para jama’ah haji, namun ada satu oleh-oleh yang sangat besar dan berharga, dan hanya bisa disimpan dalam hati dan dada. Oleh-oleh yang tak akan habis jika dibagi-bagikan kepada orang lain bahkan malah kian bertambah dan semua orang pasti suka untuk menerimanya. Tak lain adalah kebersihan jiwa dan akhlak. Inilah barang termahal yang selayaknya dibawa pulang oleh mereka yang menunaikan haji. Alangkah indahnya jika sepulang haji yang kikir menjadi dermawan, penjahat menjadi penebar salam, bandar judi menjadi ketua majlis ta’lim, dan ribuan bahkan jutaan orang merubah jalan hidupnya bersama-sama satu tujuan menuju Allah
Subhanahu Wata'ala. Tak ada lagi pejabat penerima sogok, hakim berat sebelah, pengusaha ataupun pedagang licik, curang dan lain-lain.

Apalah artinya pergi haji jika hanya sekedar untuk menambah gelar namun yang korup tetap korup, yang lintah darat tetap lintah darat, yang bakhil malah makin menjadi-jadi. Padahal perbuatan jahat dan fasik itu harus ditinggalkan kapan saja bukan hanya ketika melakukan haji. Jika seseorang masih sama buruk dan jahatnya antara sebelum dan sesudah haji bahkan malah lebih parah, maka suatu pertanda bahwa kepergiannya ke tanah suci hanyalah sia-sia sebab ia tak mampu mengambil sesuatu yang paling berharga dari perjalanan tersebut.


Sebagai khatimah hendaknya setiap orang yang akan melakukan ibadah haji sadar dan mengetahui bahwa perjalanan yang akan ia tempuh adalah perjalanan ibadah yang agung dan mulia sehingga harta yang digunakan untuk itu adalah dari penghasilan yang baik dan halal. Di samping itu ia harus mempelajari tata cara manasik yang benar, sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan demikian diharapkan haji yang ia lakukan akan menjadi haji yang mabrur yang diterima di sisi Allah Subhanahu Wata'ala bukannya maghrur (tertipu) atau mabur (bahasa Jawa) yang hanya sekedar terbang naik pesawat saja.

Janganlah sekali-kali kita punya niat hanya agar mendapat gelar pak haji dan bu haji saja, lalu bangga jika orang memanggil dengan sebutan itu, sekali-kali jangan. Kalau seandainya orang satu kampung tidak ada yang memanggil kita dengan gelar itu, maka sesungguhnya Allah
Subhanahu Wata'ala Maha Tahu bahwa kita telah menunaikannya dan akan memberi balasan sesuai dengan niat dan usaha kita. Wallahu a’lam. Abu Ahmad
Sumber : Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Yayasan Al-Sofwa, Fikih Nasehat, Fariq Gassim Anuz, Pustakan Azam, sumber-sumber lain.
Disalin dari www.alsofwah.or.id

Dari Makkah, Sang Nenek terus Doakan Obama Masuk Islam

Dari Makkah, Sang Nenek terus Doakan Obama Masuk Islam
Selasa, 30 Nopember 10

RIYADH--Sang nenek Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, mendoakan cucunya itu masuk Islam. Tahun ini, nenek Obama datang ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam doanya selama di Makkah, dia selalu memohon kepada Allah SWT agar Obama masuk islam.
Nenek yang bernama Sarah Omar itu sekarang tinggal di Kenya. Dalam wawancaranya dengan koran Al Watan Saudi, nenek berusia 88 tahun itu, mengaku pergi ke Makkah bersama salah satu anaknya, yang juga paman Obama, Saeed Hussein Obama.
"Saya doakan Barack cucu saya untuk masuk Islam," kata Sarah Omar, Kamis. Selain bersama seorang putra, dia juga menunaikan ibadah haji bersama empat cucunya. Kepada harian tersebut, dia menolak untuk memberikan komentar atas sikap politik Obama. Dia hanya bersedia memberikan pernyataan yang terkait dengan haji.
Kepergian Sarah Omar beserta anak dan cucunya ke Tanah Suci itu sepertinya terselenggara atas dukungan Kerajaan Arab Saudi. Sarah mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Raja Abdullah atas keramahannya dalam menerima para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia.(Rpblk) 

Disalin dari www.alsofwah.or.id

Artikel Mu'jizat Qur'an & Sunnah Benarkah Bulan Pernah Terbelah?

Artikel Mu'jizat Qur'an & Sunnah
Benarkah Bulan Pernah Terbelah?

Dalam al-Qur`an Allah ta'ala berfirman,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
"Saat (Hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah". (al-Qamar: 1)

Ini merupakan mukjizat nyata yang disaksikan banyak orang pada masa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam. Di dalam hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu (yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan lainnya) disebutkan bahwa penduduk Makkah meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam agar mereka diperlihatkan sebuah mukjizat, maka Allah memperlihatkan kepada mereka peristiwa terbelahnya bulan menjadi dua bagian.
Pada masa kita sekarang ini, para ahli ruang angkasa Amerika berkata, "bulan pernah terbelah, kemudian kembali menyatu kembali. Kita menemukan adanya sabuk batu yang telah mengeras membelah bulan dari permukaannya sampai ke pusatnya dan terus sampai ke permukaannya lagi. Maka kami berkonsultasi kepada ahli bumi dan ahli geologi. Mereka mengatakan, 'ini tidak mungkin terjadi, kecuali jika bulan pernah terbelah kemudian kembali menyatu'." 

(Sumber : 100 Mukjizat Islam, Pustaka Darul Haq)
Disalin dari www.alsofwah.or.id

Radio Rodja 756AM- Menebar Cahaya Sunnah

Radio Rodja 756AM- Menebar Cahaya Sunnah